Selasa, 19 Oktober 2010

UTUK APA DIRUMAH BILA TANPA ILMU


“Rumah memang tempat yang paling mulia bagi wanita. Namun benarkah ia menjadi surga bagi wanita, bila tanpa ilmu dan cinta?”

Kesadaran ini sungguh mulia, apalagi jika mengingat peran sentral seorang wanita sebagai ibu yang nantinya akan mengasuh anak-anak. Tentu bukan sebuah pemahaman yang baru bahwa anak tak hanya memerlukan terpenuhinya kebutuhan materi, tetapi juga kebutuhan psikis.
Namun, ada sesuatu yang terlupakan saat sang suami meminta istri kembali “pulang” ke rumah atau ketika si istri dengan kesadaran penuh meninggalkan ranah publik untuk berjibaku penuh dalam ranah domestik. Benarkah kedua belah pihak sudah siap dengan konsekuensi bila seorang istri benar-benar hanya berada di rumah?
Banyak orang yang melupakan bahwa seorang ibu, istri, atau perempuan juga adalah manusia biasa yang butuh aktualisasi diri. Punya keinginan  melakukan hal yang  bermanfaat bagi banyak orang, punya teman-teman diskusi, dan –jika memungkinan- punya sedikit penghasilan dari jerih payahnya sendiri. Walaupun ini bukan berarti seorang perempuan akan meninggalkan tigas mulianya sebagai kreator peradaban umat melalui pengasuhan terhadap anak-anaknya.
Pemahaman akan kebutuhan untuk berkarya, mengaktualisasikan diri, dan memiliki teman berdiskusi inilah yang seringali terpendam, dalam pemahaman bahwa wanita harus diam dirumah . Bagaimana dengan wanita yang terbiasa aktif dengan sejumlah kegiatan dikantor atau organisasi kemanusiaan?
Banyak wanita-wanita yang meiliki latar belakang seperti ini ahirnya merasa “banyak tertinggal” saat mereka kemudian seutuhnya berada di rumah. Seperti pengakuan seorang ibu yang terpublikasikan disebuah situs islam, “Satu bulan yang lalu, saya memutuskan kembali bekerja meskipun dengan sistem kontrak. Banyak yang bilang terutama keluarga dan teman ekat, saya kelihatan lebih cerah, power full, dan bahagia. Tetapi pada saat bekerja, pikiran saya jadi bercabang kembali, apakah tidak lebih baik sebagai seorang ibu harus lebih mementingkan keluarga dan anak? Namun, disatu pihak sepertinya saya kurang bahagia jika tinggal dirumah.
Apa yang membuat mereka merasa kurang berbahagia saat berada dirumah?. Apakah semata hanya karena pemahaman mereka tentang tugas mulia yang mereka emban masih rendah? Ternyata tidak. Banyak faktor yang harus diperhatikan ketia hendak menyimpulkan penyebab ketidakbahagiaan ini.

Peduli pada Keinginan
            Kini mari sejenak mengingat, pernahka ada pembicaraan antara suami dan istri tentang apa yang bisa dinikmati seorang istri, saat waktunya mutlak dirumah? Sekali lagi, diikmati, bukan dikerjakan oleh istri. Si istri merasa bahagia dengan totalitasnya di rumah. Juga, pernahkah terbahas, hal-hal menarik apa yang bisa dilakukan seorang istri dalam mengisi waktunya bersama anak-anak? Atau yang ada, cuma pembicaraan tentang sederet daftar pekerjaan rumah yang harus diseleseikan, agar rumah rapih dan penghuninya merasa nyaman di rumah?
            Bila pembicaraan ini belum pernah ada atau pernah ada tapi tak pernah direalisasikan , tentu tak aneh bila seorang istri merasa menjadi “korban dari sebuah kewajiban”. Padahal, tentu akan jadi hal yang menyenangkan bila seorang suami dapat memahami perasaan istrinya. Sangat indah rasanya bila seorang suami dapat mengetahui apa yang membuat istrinya bahagia dan bersemangat setiap waktu. Dan, akan semakin berkesandihati, bila seorang suami , selain menuntut seorang istri melakukan dengan baik tugas-tugasnya  dirumah, juga memenuhi keinginan-keinginan istrinya.. Baik keinginan untuk maju, berkembang, bersosialisasi, maupun keinginanuntu mengabdikan potensi yang dimliki sang istri untuk kemajuan islam.
            Sebuah sikap yang bijak manakala seorang suami menawarkan atau bahkan memerintakan pada istri-istrinya untuk belajar menguasai keterampilan tertentuyang disukai oleh istrinya, membiarkan istrinya berkarya, dan memiliki waktu yang luas untuk bisa menghadiri pertemuan-pertemuan yang bermanfaat, demi untuk bersama-sama berjuang di jaln allah.
            Tentu seorang istri akan berbunga-bunga hatinya bilas suaminya dengan penuh kasih menawarkan padanya untuk mengikuti kursus merias pengantinn yang sudah lama didambakannya misalnya. Juga, hati seorang istri akan sangat berbahagia bila suami sepulang bekerja, dengan senyum yang tulus menyodorkan formulir pendaftaran untuk mengikuti lomba penulisan novel di sebuah majalah wanita,atau dengan penuh kasih sayang menawarkan diri menemani sang istri mengikuti workshop seputar masalah kecerdasan anak.

Mepersiapkan Generasi Unggul
            Intinya, sudah sejauh mana suami dan istri telah saling memahami dan mempersiapkan apa yang dilakukan seorang istri ketika ia total”bertugas dirumah” . Sudahkah si istri memiliki ketrampilan untuk mengisi hari-harinya? Sudahkah ia juga memiliki keterampilan ketika mengurus si buah hati?
            Sejatinya pengetahuan-pengetahuan seperti inilah yang seharusnya dimiliki seorang istri sebelum dia benar-benar berkiprah dirumah. Sehingga profesi ibu rumah tangga tak lagi identik dengan ketidakproduktifan dan ketertinggalan. Bila seorang ibu rumah tangga kerjanya hanya menonton sinetron setelah selesai mengerjakan tugas rumah atau gagap teknologi (gaptek) saat harus mengoperasikan sebuah perangkat elektronik, maka sebaiknya jangan menyalahkannya semata. Ini semua tentu bukan terjadi dengan sendirinya.
            Yang lebih menyedihkan bila kaum wanita sendiri yang memaklumkan diri dengan mengatakan, “Yaaaa....maklumlah ibu rumah tangga, sehari-hari hanya mengurus anak.”
            Bila seorang istri, apalagi seorang ibu sampai berkata demikian, susungguhnya tugas mulia sebagai seorang kreator peradaban umat sudah gagal. Sebab, sangat mustahil seorang kreator bisa menciptakan generasi tangguh yang unggul, bila ia pun buan seorang kreator yang unggul. Jika seorang istri atau ibu sedah memaklumkan ini pada dirinya sendiri, maka mustahil peradaban islam yang berjaya akan segera hadir di depan mata.
            Generasi unggul di kemudian hari hanya bisa hadir dari sepasang orangtua yang visioner, yang memilik visi jauh kedepan untuk menyongosng peradaban islam yang gilang gemilang. Tak akan mungkin generasi ini muncul dari seorang suami atau ayahyang hanya berpikir bahwa sang istri atau sang ibu, hanya harus berada dirumah. Tanpa membekali pasanggannya agar mumpuni melaksanakan tugasnya dan menghasilkan karya terbaik seorang perempuan, yaitu anal-anak yang shalih dan shalihah
            Sebab itu, inilah saatnya untuk sama-sama meningkatkan kualitas pribadi. Bila kita semua sepakat bahwa kewaiban utama para istri dan ibu adalah di rumah, mengasuh dan merawat keluarga, maka inilah saatnya bagi  para suami untuk meng-up grade-kemampuan istri dengan berbagai macam pengetahuan dan ketrampilan, hingga sang istri pun akan bisa memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya di rumah. Hingga sabda Rasululah bahwa “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” (HR.Muslim) benar-benar tercipta dari ketangguhan pribadi seorang wanita yang akan senantiasa menghiasi rumah dengan ilmudan cinta.


*Kartika Trimarti (Suara Hidayatullah)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar